Selasa, 01 November 2011

DANAU KITA

Pagi ini kumulai hari pertamaku masuk di sekolah baruku dengan bangun kesiangan. Kutuju Satria lawasku yang ada di garasi rumah dengan pikiran setengah sadar dan mata seperempat melek. Dengan jaket kulit hitam oleh-oleh ayahku dari Australia saat dinas di luar negeri walau aku sedikit tak suka dengan barang itu, helm merah abu-abu takachi yang menutupi kepalaku, dan dengan efek slow motion dari imajinasiku layaknya sang pahlawan yang sedang bertemu musuh bebuyutanya di film-film cow boy. Ditambah alunan lagu rock penuh distrosi di ear phone iPodku, kupacu kuda besi putihku, terus, dan terus, melewati hiruk-pikuknya jalanan Bekasi yang sedari pagi sudah dipenuhi kereta besi yang berjalan seakan- akan seperti kura- kura.
Akhirnya aku sampai di depan sekolah baruku, kuparkirkan motorku bersama yang lainnya. Lalu kulanjutkan berjalan menuju sebuah alamat di kertas yang kupegang, sebelas IPS 7. Kelas yang sedikit asing untukku karena di sekolah yang lama aku masuk dalam jurusan IPA. Hari senin telah sukses kulewati dengan mulus sebagai siswa baru. Tak ada yang mengerjaiku, dan tak ada masalah apapun. Kulanjutkan langkahku menuju tempat parkir. Kuhidupkan mesin motorku dan kutancap gas lalu pulang. Di jalan sepertinya ada yang tak beres, ada motor yang dari tadi membuntutiku. Karena panik aku menambah laju motorku. Tapi motor tadi tetap mengikutiku dan sampai akhirnya menghentikan aku. Dia turun dari motornya dan melepas helmnya. Sambil mendekatiku dia berkata padaku,
“Thomas, sini dulu lo!” Suara itu terasa tak asing di kupingku.
 Benar saja suara yang memanggil namaku tadi adalah suara Arisma Yuniarto alias Hendra, entah bagamana bisa dipanggil demikian. Dia adalah orang yang pertama kali kukenal saat di Bekasi. Walaupun baru kenal tapi aku sudah merasa “eneg” dengannya karena dia selalu saja UUD (Ujung Ujungnya Duit). Tapi dia tetap yang tergokil deh.
“. . .”“Nih, flashdisc lo ketinggalan di lab.” “Untung yang nemuin gue kalo klepto gimana?”
“Wah, thanks ya bro, lo baik dech.” Lalu aku berencana pergi tapi Hendra menahanku
“Eits, gue emang dah baik dari dulu terbukti dari omongan Nyokap gue tapi fulusnya nggak minta baik- baikan!” jawab Hendra
“Masa lo tega ma prend sendiri.” Protesku“Lha apa mau gue buang aja ni flashdisc? ” Jawab Hendra
“Nih, gocap doang. Kalo kurang ngrampok aja sana!” Lalu aku mengeluarkan uang yang sudah menyembul dikantongku
“Gitu dong, udah sana lanjutin lagi. selamat berjalan saja.”
“muka lo yang jalan!”Tanpa pikir panjang aku langsung tancap gas menuju ke rumah.
Tapi, insiden kecil terjadi. Karena aku melamun diperjalanan aku menyerempet dan membuat dia tersungkur ditanah. Kulihat itu cukup membuat si pengendara vario itu terguling di tanah. Tapi, sebagai laki- laki aku harus tegas. Aku langsung berdiri dan memarahi si pengendara vario itu walupun terbukti aku yang bersalah.
“Sialan lo, kalau nyetir tu liat- liat. Punya mata nggak sih? ” bentakku.
“Maaf ya saya tidak hati- hati. Nanti yang rusak saya ganti deh.” Jawab si pengendara sambil membuka helmnya. Betapa terkejutnya aku bahwa yang menabrakku adalah seorang wanita yang cantik. Dan yang sangat aku herankan lagi meskipun aku yang jelas- jelas menabraknya, dia tidak marah- marah malah justru dia yang minta maaf.
“Ga apa- apa sih aku juga yang salah. Kamu ga ada yang terluka kan?” Tanyaku sambil salah tingkah
“Tidak kok,maaf aku buru- buru sekali jadi, kalau ada apa- apa aku...” Belum selesai dia berbicara aku segera menyela perkataannya.
“Ya, nggak apa- apa kok” jawabku .
Lalu dengan cepat si pengendara vario biru itu pun langsung pergi. Baru kali ini aku bisa salah tingkah seperti ini apalagi didepan cewek. Dan baru pertama kalinya juga aku bisa aneh begini. Ah, aku cukup dibuat terpana olehnya. Setelah cukup lama aku menyadari kenapa aku tadi tidak bertanya namanya dan nomor telephonenya.
Keesokan harinya aku sedikit terlambat bangun karena, semalam aku begadang dengan alasan yang sangat konyol yaitu selalu terbayang cewek yang kemarin berserempeten denganku. Dan aku bertekat untuk mencari informasi tentang cewek itu. Dan usut punya usut ternyata si cewek itu adalah teman dekat dari Hendra. “Wah, kenapa mesti Hendra sih. Pasti ntar ujung- ujungnya duit lagi.” BatinkuTapi itu tak menyurutkan tekadku untuk mendekatinya atau istilahnya PeDeKaTe.
Langkah pertama aku dekati terus hendra dan mengorek informasi lebih dalam tentang dia yang diketahui namanya Ega. Langkah pertama terbukti berhasil dan kulanjutkan ke langkah yang kedua dengan kutanya terus Hendra tentang kebiasan Ega di rumah dan sifat- sifatnya tetapi aku tetap menjaga image agar tak terlihat seperti orang yang Fanatis. Sampai pada akhirnya perjuanganku membuahkan hasil.
 Aku berkenalan bercakap- cakap dengannya melalui Facebook dan setelah cukup lama kutembak Ega pada pertengahan mid semester tepatnya pada tanggal 12 maret 2008.Betapa senangnya aku tapi, walaupun begitu jarang aku bertemu dengan Ega untuk sekedar berbincang atau Ngedate walaupun secara status aku sudah resmi jadi pacarnya. Kalaupun berbincang itu juga dengan teman- temannya atau sekedar chating di facebook. Karena alasan tersebut aku berinisiatif untuk mengajaknya ketempat yang sangat indah untuk menunjukkan betapa aku mencintai Ega. Tempat tersebut adalah danau yang tak jauh dari sekolahku.Disana kami bisa bercengkrama seperti pasangan pada umumnya tapi tetap normal dan tidak berlebihan. Aku sangat senang melihat senyum bibir manis Ega yang seolah mengunci hati ini untuk tetap singgah di hatinya.
Hingga 1 tahun berlalu aku masih bersama Ega dan hubungan kami masih bersama dengan Ega.Hubungan kamipun masihg terbilang harmonis dan kami bagaikan sudah terikat sangat erat dan tak dapat dipisahkan. Tapi, semua itu segera berubah ketika hari jumat 12 juni 2009.Ega mengajakku ketempat dimana kami berdua selalu bertemu. Hal ini sedikit aneh karena hari itu kami masih dalam keadaan tes semester.
Tapi, karena sudah cinta apapun pasti dilakukan. Kami berboncengan menggunakan satria lawasku karena Ega tak membawa sepeda motornya.Setelah sampai di danau Ega langsung melepas tasnya dan memelukku dan menagis seperti tak pernah bertemu selama bertahun- tahun. Aku menjadi heran dengan sifatnya. Aneh sekali.
“ Ga, lo kenapa? Kok nangis, apa aku punya salah?” Tanyaku
“Tidak apa- apa, aku Cuma ingin bersama kamu aja.”“…”
Aku hanya terdiam melihat sifat Ega
“Thomas, aku senang bisa bersama dengan kamu. Aku minta maaf ya aku belum bisa menjadi yang kamu inginkan?”
“kok lo bicara begitu sih?” tanyaku dengan nada bingung
“Kamu, jangan tinggalin aku ya. Aku ga tahu jika aku tanpa kamu?” kata Ega
“lo ga percaya sama gue? Apa kamu perlu bukti.”“…” Ega hanya terdiam
“Ga, kenapa kamu ini? Kok aneh banget?” Tanyaku .

Diapun hanya menangis dan memelukku dengan sangat erat sampai- sampai degup jantungnya bisa kurasa. Aku semakin heran dengan sikap Ega yang sangat aneh tersebut. Tanpa pikir panjang aku memegang kedua pipi Ega, menghapus peluhnya dan langsung mencium bibirnya tapi tidak begitu lama aku melepasnya.

“ Ega, itu salah satu bukti yang bisa aku berikan untukmu.” Kataku

Tak kusangka Ega malah semakin terisak- isak. Aku tak kuasa menahan emosiku akhirnya ku luapkan semua dengan menanyakan dengan sedikit keras.

“Ga, udah deh kamu bilang aja aku bete kalo terus begini.” Kataku dengan nadasedikit keras

“Maaf, aku mungkin sedikit khawatir ma kamu.”“Ya udah udah jam 13.30 kamu harus les kan. Ayo gue anterin.”“…”

Walaupun tak ada jawaban dasri ega aku langsung menariknya dan kuantar ke Lembaga belajar tempat Ega les. Seperti biasa dia kutinggalkan dan lebih suka pulang naik bus.Setelah kejadian di danau itu perasaanku menjadi sangat tidak enak. Selama perjalanan aku hampir jatuh ke jurang karena memikirkan hal tadi. Tapi, aku masih berusaha konsentrasi dalam mengemudi.

Keesokan harinya Ega tak masuk sekolah, kupikir karena sakit karena memang belakangan ini wajahnya tampak pucat tapi, tidak ada surat izin dari keluarganya. Sampai kuketahui setelah pulang sekolah bahwa didepan rumahnya tertancap bendera kuning berukuran 30 x 30 cm. Aku bertanya siapa yang meninggal dunia. Ternyata Egalah yang meniggal dunia karena tertabrak bus ketika akan menyeberang saat pulang les.

Aku segera berlari ke dalam rumah tetapi tak kutemui jenazah Ega. Maka kukejar ke pemakaman. Tapi terlambat jenazah Ega sudah terlanjur di makamkan.Entah apa yang kupikirkan sehingga aku langsung menuju ke Danau tempat dimana kami biasa bertemu. Dengan segenap emosi kumaki- maki Tuhan yang telah memisahkan kami. Aku menjadi gila, menjadi bingung. Kulihat birunya danau didepanku sangat indah hingga terbesit keinginan untuk menyusul Ega yang telah terpisah ruang dan waktu denganku.Kulangkahkan kakiku mendekati danau dan menuju ke tengah danau
.“Ega aku cinta padamu selamanya dan kita tak bisa dipisahkan. Danau ini adalah saksi dan danau ini adalah danau kita.” Itulah kata- kata terakhirku sebelum aku benar benar ….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar